Langsung ke konten utama

Ibu Kota Negara pindah, Bagaimana Potensi Pencemaran Lingkungannya?

“Ibu Kota Negara” 
Ibu kota merupakan pusat pemerintahan dari suatu negara yang telah diatur di dalam undang-undang setiap negara. Indonesia menetapkan kota Jakarta sebagai ibu kotanya, hal ini tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1964 “Tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya Tetap sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta”. Ibu kota mempunyai peran yang penting bagi segala aspek kegiatan pemerintahan. Sebagai aspek kegiatan pemerintahan, ibu kota mempunyai fungsi utama yaitu sebagai pusat kekuasaan politik maupun perekonomian suatu negara. Tidak hanya itu, ibu kota juga mencerminkan sisi kebudayaan dari suatu negara tersebut yang menunjukkan sebuah karakter yang unik dan khas dari negara tersebut. Sebagai identitas dari suatu negara, ibu kota dibangun untuk memajukan negara tersebut agar masyarakatnya menjadi makmur dan berkehidupan yang cukup. Pemindahan ibu kota diperlukan persiapan yang matang tidak hanya mengenai kebutuhan lahan yang luas tetapi juga perlu adanya pertimbangan dampak yang berkaitan dengan perekonomian, demografi, sosial-politik, kebencanaan, daya dukung lingkungan dan pertahanan serta keamanan. Diperlukan biaya yang besar untuk pemindahan ibu kota, pembiayaan dapat bersumber dari APBN atau di luar APBN. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menjamin perlindungan dan pengelolaan dampak lingkungan yang terjadi di dalam pemindahan ibu kota yang baru, agar solusi pemindahan ibu kota dari Jakarta ke daerah lain tidak menimbulkan masalah baru. Dalam rangka mengurangi dampak ekonomi akibat padatnya penduduk terkhusus Pulau Jawa, Indonesia kini menanggulanginya dengan cara memindahkan Ibu Kota Negara baru di luar Pulau Jawa, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 tentang “Ibu Kota Negara”. Alasannya adalah karena risiko bencana yang minim, kawasan tersebut juga dinilai cukup strategis di antara kota-kota yang berkembang, yakni kota Balikpapan dan Samarinda. Dalam rencana pemindahan ibu kota ini, diproyeksikan dapat menumbuhkan berbagai sektor di wilayah Kalimantan Timur.
Gambar 1. Peta Wilayah Kalimatan Timur 

Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur harus memperhatikan perlindungan lingkungan sebagai bagian paling utama dari pertimbangan-pertimbangan yang ada. Hal tersebut beralasan karena tingkat polusi udara di Jakarta sangat tinggi. Tingginya tingkat polusi udara tersebut makin diperparah dengan temuan bahwa kegiatan Work From Home (WFH) yang dilakukan di tengah pandemi corona ini belum cukup mengurangi polusi udara di kota Jakarta. Polusi tersebut menjadi perbincangan tersendiri karena ditakutkan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan hanya memindahkan masalah lingkungan berupa polusi tersebut ke ibu kota negara baru, sementara bencana lingkungan yang sudah terjadi di dekat ibu kota baru seperti banjir yang pernah terjadi pada bulan agustus 2019 di Samarinda belum bisa ditangani dengan baik. Oleh karena itu, akan dibahas potensi-potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi akibat pemindahan Ibu Kota Negara. “Potensi kerusakan lingkungan” Kalimantan Timur dengan sumber daya alam yang melimpah memiliki masalah utama dalam lingkungan yaitu kebakaran hutan, beberapa kasus yang ada di kalimantan Timur saat ini menuai pro dan kontra dengan adanya pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur. Kasus diakhir tahun 2019 kebakaran hutan di karhutla merupakan satu dari beberapa kasus kebakaran hutan yang menghabiskan sekian hektar hutan di Indonesia. Terdapat beberapa penyebab kebakaran hutan antara lain iklim atau cuaca di indonesia yang pada musim kemarau sangat panas dan ulah manusia itu sendiri. Kebakaran hutan ini tentu merugikan masyarakat, selain polusi dari asap kebakaran, hewan-hewan yang hidup di hutan ikut terbakar dan membuat ekosistem fauna tersebut punah. Reboisasi atau penanaman pohon kembali diperlukan untuk memperbaiki lingkungan menjadi bersih dan sehat. Berikut beberapa potensi kerusakan lingkungan yang terjadi: 
 a. Ancaman Terhadap Tata Air dan Risiko Perubahan Iklim karena Sistem Hidrologi Terganggu
Gambar 2. Kerusakan Tata Air 

Ancaman terhadap tata air dan risiko perubahan iklim karena sistem hidrologi yang terganggu dan telah ada catatan air tanah yang tidak memadai. Wilayah tangkap air akan terganggu, risiko terhadap pencemaran air dan kekeringan. Sumber air bersih tidak memadai sepanjang tahun, ketidakmampuan pengelolaan air limbah yang dihasilkan dari IKN dan pendukungnya. Dampak Kerusakan tata air yang terjadi mengakibatkan kondisi kuantitas (debit) air sungai menjadi fluktuatif antara musim penghujan dan kemarau. Selain itu juga penurunan cadangan air serta tingginya laju sendimentasi dan erosi. Dampak yang dirasakan kemudian adalah terjadinya banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau, Kerusakan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas air sungai yang mengalami pencemaran yang diakibatkan oleh erosi dari lahan kritis, limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian (perkebunan) dan limbah pertambangan. 

b. Mengancam Keberlangsungan Hidup Flora dan Fauna (Ekosistem Mangrove)
Gambar 3. Flora dan Fauna Ekosistem Mangrove 

Perpindahan ibu kota negara ke Kalimantan akan berisiko merusak lingkungan hidup, rusaknya kehidupan fauna dan flora. Hal ini sebagai dampak pembangunan kota, perumahan penduduk, pertokoan, pasar. Hutan Kalimantan yang dikenal sebagai paru-paru dunia bisa jadi kedepannya hanya tinggal kenangan karena ulah manusia. Dalam kondisi sekarang saja di Kalimantan sudah terjadi banjir, apalagi nanti kalau ibu kota pindah ke Kalimantan. 

c. Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Kebakaran Hutan, Pencemaran Minyak, Penurunan Nutrient, dan banyak Lubang Tambang)
Gambar 4. Kerusakan Lingkungan 

Untuk membangun sebuah ibu kota baru, pemerintah perlu membuka lahan dan membangun kantor pemerintahan dan keperluan lainnya. Karena setidaknya satu setengah jiwa pegawai negeri akan pindah ke ibu kota negara yang baru. Menurut media Kompas.com menyebutkan pemerintah Indonesia telah menyediakan 256.142 hektar tanah untuk pembangunan kota baru tersebut. Namun, memindahkan ibu kota negara ke pulau Kalimantan yang memiliki sejumlah besar lahan gambut yang mudah terbakar meningkatkan risiko kebakaran hutan dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan secara signifikan. Jika terjadi kebakaran, maka ibu kota negara yang baru akan lebih rentan berhadapan dengan asap. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pembangunan ibukota yang baru, pemerintah perlu melibatkan masyarakat setempat untuk saling berkoordinasi dalam masalah pembangunan infrastruktur agar mempertimbangkan mengenai flora dan fauna yang ada didaerah tersebut seperti ekosistem hutan, mangrove, satwa liar, ekosistem pesisir dan perairan harus dikaji lebih dalam pemberian perlindungan dan pengelelolaan oleh pemerintah. Pengelolaan lingkungan dilakukan untuk kebermanfaatan umat manusia. Rencana untuk membangun ‘kota pintar di hutan’ di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, diperkirakan akan meringankan beban Jakarta. Jakarta yang memiliki 10 juta penduduk masih bergulat dengan masalah polusi, kemacetan, banjir, hingga ancaman tenggelam. Namun, memindahkan ibu kota negara ke pulau Kalimantan yang memiliki sejumlah besar lahan gambut yang mudah terbakar meningkatkan risiko kebakaran hutan dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan secara signifikan. Selain itu, pemindahan ibu kota tidak menjamin masalah lingkungan di Jakarta akan terselesaikan. Risiko kebakaran hutan yang besar di Ibukota baru lokasi yang terpilih sebagai ibu kota baru tidak jauh dari danau Mahakam, yang merupakan lahan gambut dan habitat bagi beberapa spesies langka dan dilindungi, antara lain lumba-lumba Irrawaddy (Orcaella Brevirostris) atau pesut. Kebakaran di lahan gambut menjadi sumber asap pekat yang menyelimuti berbagai wilayah Indonesia, termasuk pada tahun ini. Proses pembangunan wilayah IKN dikaji oleh beberapa institusi negara, yakni BAPPENAS, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hasil kajian sementara menunjukkan adanya risiko yang dihadapi dalam pengembangan IKN di wilayah baru tersebut, diantaranya ketersediaan air, kemungkinan adanya tekanan terhadap kawasan konservasi Bukit Soeharto, sebaran lubang bekas tambang, dan ancaman tekanan terhadap Kawasan konservasi di wilayah pesisir. Seperti yang kita ketahui bahwa kalimantan Timur memiliki sumber daya alam yang melimpah yang harus dijaga kelestarian lingkungannya. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan harus berdasarkan prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagai penyeimbang antara bangunan gedung dengan ruang terbuka hijau. Meskipun kalimantan timur merupakan salah satu daerah yang minim terjadinya bencana tetapi jika setelah adanya pembangunan-pembangunan yang tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan maka tetap akan menimbulkan banjir beberapa tahun kedepan seperti yang terjadi di Jakarta. Pengelolaan lingkungan di daerah kalimantan lebih dimaksimalkan untuk mencapai manfaat dalam mendukung kegiatan pemerintah yang berwawasan lingkungan banyaknya kawasan hutan tersebut sebagai penopang kehidupan. Meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk di wilayah IKN meningkatkan kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah pesisir. Hal ini akan berakibat pada daya dukung di daerah pesisir yang disebabkan oleh kegiatan tersebut, kegiatan yang akan berdampak salah satunya adalah kegiatan industri, selanjutnya ancaman yang lain adalah pencemaran baik bersumber dari rumah tangga ataupun kegiatan lainnya. Pada hakikatnya pengelolaan di wilayah darat akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan di wilayah pesisir. Ancaman langsung dan tidak langsung terhadap sumber daya pesisir adalah pengembangan infrastruktur yang meliputi transportasi laut, darat, dan rekayasa sungai. Aksesibilitas diperlukan manusia untuk aktifitas perpindahan orang, maupun barang dan jasa untuk keperluan ekonomi. Namun apabila dilakukan secara berlebihan maka akan ada risiko serius pada wilayah pesisir di wilayah IKN. Kapal tongkang pengangkut hasil tambang dan kayu biasanya berukuran besar dan sering sekali melintas di sungai sungai besar di wilayah Kalimantan, salah satunya Sungai Seluang di bagian barat wilayah IKN.   

Sumber: 
1. Siti Aisa dan Reni Ria Armayanti Hasibuan., 2020, Dampak dan risiko Perpindahan Ibu Kota Terhadap Ekonomi di Indonesia, Jurnal Ekonomi Islam, Volume 5, Nomor 1, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan, Medan. 
6. Yahya H. M., 2018, Pemindahan Ibu Kota Negara Maju dan Sejahtera, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol 14, No 01, Universitas Merdeka Malang, Malang. 
7. Pratami Y. H ., 2020, Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terkait Pemindahan Ibu Kota Negara, Skripsi thesis, Universitas Airlangga, Surabaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Air Permukaan di Sekitar Area TPA Bukit Pinang Samarinda

KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan karunia-Nya berupa rahmat, sehingga penyusunan Kajian oleh Departemen Kajian dan Penelitian Lingkungan Hidup (KPLH) yang berjudul “Kajian Air Permukaan di Sekitar Area TPA Bukit Pinang Samarinda” dapat di selesaikan tepat pada waktunya. Penyusunan Kajian ini dilaksanakan berdasarkan isu lingkungan yang ada serta berlandaskan pada Program Kerja Departemen KPLH Himateli Unmul pada periode 2017/2018. Pada penyusunan kajian ini penulis banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu selama penulisan. Penulis menyadari dalam penyusunan kajian ini masih belum sempurna, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan kajian selanjutnya. Penulis berharap kajian ini dapat bermanfaat bagi yang membaca. Samarinda,

KUALITAS KASGOT PADA PERKEMBANGBIAKAN MAGGOT DALAM BENTUK PAKAN SAMPAH ORGANIK

1.       PENDAHULUAN Timbulan sampah meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pola konsumsi manusia. Sampah merupakan salah satu bentuk konsekuensi dari adanya aktivitas alam maupun manusia yang belum memiliki nilai ekonomis. Tidak dapat dipungkiri, sampah akan selalu ada selama aktivitas kehidupan masih terus berjalan. Dalam upaya penanganan permasalahan sampah diperlukan adanya kerjasama yang nyata antara pemerintah dan masyarakat demi terwujudnya lingkungan yang bersih dan nyaman yang didambakan bersama. Peraturan Pemerintah No 81 Tahun 2012 memberikan arahan agar pengelolaan sampah dengan paradigma kumpul angkut buang berubah menjadi model pengelolaan sampah yang didasari dengan pengurangan dan penanganan sampah di sumber. Pola pikir masyarakat diarahkan pada kegiatan pengurangan sampah dan penanganannya (Auliani, 2021) .   Menurut data Badan Pusat Statistik Kota Samarinda tahun 2021 tercatat sampah yang terangkut sebesar 661,740.00 kg, dengan persentase

Analisis Tingkat Kenyamanan Ruang Terbuka Hijau Taman Cerdas Kota Samarinda Berdasarkan Temperature Humidity Index

   KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan Kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya maka laporan kajian dan penelitian yang berjudul “Analisis Tingkat Kenyamanan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Cerdas Kota Samarinda Berdasarkan Temperature Humidity Index (THI)” ini dapat diselesaikan dengan baik. Laporan kajian dan penelitian ini disusun sebagai bentuk pemenuhan salah satu program kerja HIMATELI UNMUL yaitu pelaksanaan kajian dan penelitian berbasis lingkungan hidup, dimana dalam laporan ini dijelaskan secara lengkap dan terperinci mengenai  hal-hal yang mengenai tentang bagaimana suhu dan kelembapan udara di Taman Cerdas Kota Samarinda serta tingkat kenyamanan pada lokasi penelitian berdasarkan THI. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Kajian dan Penelitian ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi, penulisan maupun kata-kata yang digunakan, hal tersebut tidak lepas karena keterbatasan data dan referensi maupun kemampuan penulis. Oleh karena itu,